Tuesday, 31 October 2017

Utang Luar Negeri Perlu Dikelola : Bursa Efek Indonesia Dorong Mobilisasi Dana

Utang Luar Negeri Perlu Dikelola
Bursa Efek Indonesia Dorong Mobilisasi Dana
1 November 2017

JAKARTA, KOMPAS — Indonesia merupakan negara yang luas, tetapi tidak memiliki banyak dana untuk meningkatkan pembangunan. Untuk menumbuhkan perekonomian, Indonesia masih bertumpu pada utang luar negeri dan ekspor komoditas.

Di tengah pemulihan ekonomi yang masih berlanjut, utang luar negeri perlu dikelola dengan lebih hati-hati. Langkah ini perlu ditopang dengan peningkatan investasi, baik di sektor produktif maupun melalui pasar modal.

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara mengemukakan hal itu dalam seminar Economic and Capital Market Outlook 2018 yang diselenggarakan Investor Daily di Jakarta, Selasa (31/10). Mirza menjadi pembicara kunci dalam seminar itu bersama Deputi Komisioner Pengawas Pasar Modal 2 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Fahri Hilmi.

Menurut Mirza, dana yang tersedia untuk membiayai pembangunan dan perekonomian Indonesia rata-rata sekitar 50 persen dari produk domestik bruto (PDB). Sisanya berasal dari utang luar negeri, investasi asing, dan investasi portofolio.

“Utang luar negeri memang dibutuhkan. Namun, tetap perlu dijaga dan dikelola secara hati- hati. Saat ini rasio utang luar negeri terhadap pendapatan devisa sudah cukup besar,” kata Mirza.

Menurut data dari BI, utang luar negeri Indonesia per akhir Agustus 2017 sebesar 340,5 miliar dollar AS atau sekitar Rp 4.735,99 triliun. Jumlah utang ini tumbuh 4,7 persen dalam setahun. Rasio utang luar negeri terhadap penerimaan devisa 172 persen. Adapun rasio utang luar negeri terhadap ekspor pada semester I-2017 sebesar 174,08 persen.

Di sisi lain, lanjut Mirza, perekonomian Indonesia masih bergantung pada ekspor komoditas. Ketika harga komoditas turun, seperti pada 2013-2016 yang turun 30-50 persen, pertumbuhan ekonomi Indonesia ikut turun.

“Untuk mengatasi persoalan- persoalan itu, pemerintah perlu membalikkan neraca yang sebelumnya banyak defisit menjadi surplus. Langkah konkretnya melalui peningkatan pariwisata, ekspor produk-produk manufaktur, dan investasi yang menghasilkan devisa,” katanya.

Fahri Hilmi mengemukakan, pada Oktober lalu, Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global pada 2017 dan 2018 masing-masing 3,6 persen dan 3,7 persen. Sementara pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2017 dan 2018 masing-masing 5,2 persen dan 5,3 persen. Hal itu tidak terlepas dari optimisme perdagangan dunia yang diperkirakan meningkat 3,6 persen pada 2017.

“Kendati begitu, tetap perlu dicermati soal ketidakpastian kebijakan ekonomi dan politik global yang terpantau tinggi hingga akhir tahun ini, termasuk di dalamnya Bank Sentral Amerika Serikat yang diperkirakan akan menaikkan suku bunga acuannya pada akhir 2017 dan 2018. Hal itu bisa mempersempit ruang kebijakan negara-negara berkembang, khususnya di sektor keuangan,” kata Fahri.

Mobilisasi dana

Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Tito Sulistio mengatakan, BEI akan membantu pemerintah dalam pembiayaan pembangunan dan perekonomian. Beberapa upaya yang dilakukan BEI adalah memperbesar kemampuan mobilisasi dana dan meningkatkan likuiditas pasar modal.

Sejauh ini, pertumbuhan investor baru cukup signifikan, termasuk investor domestik. Pada 2016, jumlah investor baru sebanyak 136.555 dan pada Januari-September 2017 sebanyak 86.241.

“Kenaikan rata-rata nilai transaksi harian pada 2016 sebesar Rp 1 triliun, sedangkan pada September 2017 sebesar Rp 500 miliar. Kontribusi investor baru pada 2016 sebesar Rp 627,4 miliar atau 62,7 persen, sedangkan pada September 2017 sebesar Rp 267,9 miliar atau 54,2 persen,” kata Tito. (HEN)

Pengelolaan Anggaran : Defisit Menjadi Jangkar

PENGELOLAAN ANGGARAN
Defisit Menjadi Jangkar
31 Oktober 2017

Realisasi penerimaan, pengeluaran, dan utang pemerintah tahun ini ditargetkan terkendali dengan defisit 2,67 persen. Dengan kapasitas fiskal tersebut dan geliat perekonomian sepanjang tahun 2017, realisasi pertumbuhan ekonomi tahun ini diproyeksikan mencapai 5,17 persen.

Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2017 paling mutakhir dirilis Direktorat Jenderal Perbendaharaan per 31 Agustus. Data diumumkan September lalu. Dari target pendapatan sebesar Rp 1.714 triliun, realisasinya mencapai Rp 973,2 triliun atau 56,1 persen. Sementara realisasi belanja negara pada periode yang sama sebesar Rp 1.198,3 triliun atau 56,2 persen dari pagu senilai Rp 2.133 triliun.

Dengan demikian, realisasi defisit mencapai Rp 225,1 triliun atau 1,65 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Target sampai akhir tahun adalah Rp 397,2 triliun atau 2,92 persen terhadap PDB.

Meski demikian, skenario defisit yang akan dituju Kementerian Keuangan adalah 2,67 persen terhadap PDB. Hal ini mengandaikan realisasi belanja sampai akhir tahun adalah 98 persen. Sementara realisasi pendapatan mencapai 100 persen.

Namun, realisasi pendapatan sampai akhir tahun hampir pasti tidak akan mencapai 100 persen dari target. Pola pencapaian demikian sudah terjadi beberapa tahun terakhir. Apalagi, sampai akhir September lalu, indikasi itu menguat.

Pajak yang menyumbang 75 persen dari total target pendapatan negara, realisasinya per 30 September baru Rp 771 triliun atau 60 persen dari target. Artinya, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan harus menghimpun Rp 513 triliun pada Oktober-Desember untuk mencapai 100 persen dari target.

Jika realisasi pendapatan pajak di bawah target, skenario Kementerian Keuangan pun akan berubah. Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam keterangannya pekan lalu menyatakan bahwa defisit 2,67 persen tetap menjadi jangkar. Untuk itu, realisasi pendapatan dan belanja akan terus dipantau secara intensif.

Siklus tahunan

Pada tiga bulan terakhir dari tahun anggaran berjalan, realisasi pendapatan dan belanja selalu meningkat ketimbang bulan-bulan sebelumnya. Ini sudah merupakan siklus tahunan.

Belajar dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya, realisasi belanja selalu berada di kisaran 90 persen dari pagu. Misalnya, realisasi pada 2015 dan 2016, masing-masing 90,5 persen dan 89,3 persen.

Artinya, skenario Kementerian Keuangan yang disampaikan kepada publik pertengahan tahun lalu, bahwa realisasi belanja sampai dengan akhir tahun sebesar 98 persen, besar kemungkinan tidak akan tercapai. Kondisi ini akan mengompensasi realisasi penerimaan negara yang di bawah target.

Kalaupun ada pelebaran dari skenario defisit 2,67 persen, Kementerian Keuangan memiliki ruang untuk menarik utang. Sebab, target defisit sesuai APBN-P 2017 adalah 2,92 persen terhadap PDB. Total utang bruto tahun ini, termasuk utang untuk membiayai defisit APBN, adalah Rp 717 triliun.

Sesuai target ini, Kementerian Keuangan masih memiliki jadwal penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) sebanyak delapan kali dari Oktober hingga Desember. Sedianya target utang yang belum ditarik akan dipenuhi dari penerbitan empat kali Surat Utang Negara dan empat kali Surat Berharga Syariah Negara. Hingga pekan kedua Oktober, realisasi SBN mencapai 86,4 persen dari pagu utang bruto.

Catatan khusus perlu ditujukan untuk penerimaan pajak. Jika realisasi penerimaan pajak sampai akhir tahun, mengutip proyeksi Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), sekitar 89 persen dari target, rasio pajak terhadap PDB tahun ini hanya sekitar 9,2 persen. Ini akan menjadi rasio pajak terendah dalam beberapa tahun terakhir yang konsisten turun.

Pemerintah memang tengah menjalankan agenda reformasi perpajakan secara bertahap. Ini adalah langkah yang sifatnya jangka menengah, 3 hingga 5 tahun. Hasilnya tidak bisa diharapkan dalam jangka pendek.

Dengan kata lain, penerimaan pajak pun tidak bisa meningkat signifikan dalam jangka pendek. Untuk itu, selain penerimaan pajak yang terus didorong untuk meningkat setiap tahun, pemerintah juga harus meningkatkan penerimaan negara dari sumber-sumber lainnya. (FX LAKSANA AS)