Bursa Efek Indonesia Dorong Mobilisasi Dana
1 November 2017
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia merupakan negara yang luas, tetapi tidak memiliki banyak dana untuk meningkatkan pembangunan. Untuk menumbuhkan perekonomian, Indonesia masih bertumpu pada utang luar negeri dan ekspor komoditas.
Di tengah pemulihan ekonomi yang masih berlanjut, utang luar negeri perlu dikelola dengan lebih hati-hati. Langkah ini perlu ditopang dengan peningkatan investasi, baik di sektor produktif maupun melalui pasar modal.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara mengemukakan hal itu dalam seminar Economic and Capital Market Outlook 2018 yang diselenggarakan Investor Daily di Jakarta, Selasa (31/10). Mirza menjadi pembicara kunci dalam seminar itu bersama Deputi Komisioner Pengawas Pasar Modal 2 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Fahri Hilmi.
Menurut Mirza, dana yang tersedia untuk membiayai pembangunan dan perekonomian Indonesia rata-rata sekitar 50 persen dari produk domestik bruto (PDB). Sisanya berasal dari utang luar negeri, investasi asing, dan investasi portofolio.
“Utang luar negeri memang dibutuhkan. Namun, tetap perlu dijaga dan dikelola secara hati- hati. Saat ini rasio utang luar negeri terhadap pendapatan devisa sudah cukup besar,” kata Mirza.
Menurut data dari BI, utang luar negeri Indonesia per akhir Agustus 2017 sebesar 340,5 miliar dollar AS atau sekitar Rp 4.735,99 triliun. Jumlah utang ini tumbuh 4,7 persen dalam setahun. Rasio utang luar negeri terhadap penerimaan devisa 172 persen. Adapun rasio utang luar negeri terhadap ekspor pada semester I-2017 sebesar 174,08 persen.
Di sisi lain, lanjut Mirza, perekonomian Indonesia masih bergantung pada ekspor komoditas. Ketika harga komoditas turun, seperti pada 2013-2016 yang turun 30-50 persen, pertumbuhan ekonomi Indonesia ikut turun.
“Untuk mengatasi persoalan- persoalan itu, pemerintah perlu membalikkan neraca yang sebelumnya banyak defisit menjadi surplus. Langkah konkretnya melalui peningkatan pariwisata, ekspor produk-produk manufaktur, dan investasi yang menghasilkan devisa,” katanya.
Fahri Hilmi mengemukakan, pada Oktober lalu, Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global pada 2017 dan 2018 masing-masing 3,6 persen dan 3,7 persen. Sementara pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2017 dan 2018 masing-masing 5,2 persen dan 5,3 persen. Hal itu tidak terlepas dari optimisme perdagangan dunia yang diperkirakan meningkat 3,6 persen pada 2017.
“Kendati begitu, tetap perlu dicermati soal ketidakpastian kebijakan ekonomi dan politik global yang terpantau tinggi hingga akhir tahun ini, termasuk di dalamnya Bank Sentral Amerika Serikat yang diperkirakan akan menaikkan suku bunga acuannya pada akhir 2017 dan 2018. Hal itu bisa mempersempit ruang kebijakan negara-negara berkembang, khususnya di sektor keuangan,” kata Fahri.
Mobilisasi dana
Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Tito Sulistio mengatakan, BEI akan membantu pemerintah dalam pembiayaan pembangunan dan perekonomian. Beberapa upaya yang dilakukan BEI adalah memperbesar kemampuan mobilisasi dana dan meningkatkan likuiditas pasar modal.
Sejauh ini, pertumbuhan investor baru cukup signifikan, termasuk investor domestik. Pada 2016, jumlah investor baru sebanyak 136.555 dan pada Januari-September 2017 sebanyak 86.241.
“Kenaikan rata-rata nilai transaksi harian pada 2016 sebesar Rp 1 triliun, sedangkan pada September 2017 sebesar Rp 500 miliar. Kontribusi investor baru pada 2016 sebesar Rp 627,4 miliar atau 62,7 persen, sedangkan pada September 2017 sebesar Rp 267,9 miliar atau 54,2 persen,” kata Tito. (HEN)