Wednesday, 20 September 2017

Monokultur, hilangnya kekayaan biodiversity kita ?

Oleh : Jusman Syafii Djamal

Dua tahun lalu Seorang teman saya satu angkatan di ITB yang baru pensiun menulis di WA saya, Jusman aku sedang ikutan workshop pertanian. Mau belajar jadi petani kopi. Siapa tau bisa ikuti jejak petani kopi Gunung Putang.

Dengan modal 1000 bibit pohon mampu menghutankan kembali bukit yang gundul, dan hasilnya pengolahan biji kopi cherry merah nya berhasil melahirkan cita rasa kopi terbaik didunia.

Teman saya itu kemudian bercerita tentang betapa sukarnya merangkak dari bawah mau jadi petani. Seolah semua sudah tertutup jalan. Tidak mudah lagi.

Dalam workshop muncul banyak "lesson learned", kalau tak mau disebut keluhan atau curcol, curhat colongan.

Sebab diberi penjelasan sama mentornya, sudah banyak produk pertanian asli Indonesia kini sudah hilang dari pasar dan tak ada petani lagi yang bisa survive jika menanam nya.

Kalau ingin jadi petani, siap siap masuk lingkaran setan penuh ketidak pastian. Salah kelola bisa bisa dari yang tadinya Milyarder berubah jadi Jutawan, Spiral down.

Kalau pensiunan seperti saya, bisa bisa mantab' ini cerita. Makan tabungan. Cari nilai tambah disektor pertanian sepertinya bukan hal mudah. Ekosistem atau habitat nya dilingkari fenomena pertumbuhan spiral down.

Makin besar usaha dan makin panjang waktu, modal menyusut yang terjadi.

Sukar ketemu contoh ada petani bermodal ribuan meningkat jadi jutawan dan miljarder. Yang merosot jadi Sebaliknya banyak. Modal habis tanaman tak berbuah keuntungan.

Jadi mau swasembada buah buah an dan produk pertanian memang tugas yang amat berat ya. Begitu sambungan cerita nya.

Ia masih berceloteh, nambahin info :

Yang hilang ku catat, Jeruk Pontianak, Jeruk Medan, Timun, Paprika, Apel Malang, Durian , Cengkih Tembakau.

Begitu kata teman saya. Bukannya Itu dulu komoditi primadona, kok bisa tenggelam ya ?

Saya cuma bisa jawab :"wah mesti tanya ke alumni IPB atau Fakultas Pertanian Unpad atau Gajah Mada, yang lebih faham tentang seluk beluk masalah itu.

Saya kurang faham mata rantai "business process" dan "value chain" nya industri pertanian.

Dulu kita pernah memiliki roadmap pembangunan ekonomi wilayah. Tadinya komposisi produk yang ingin dikembangkan adalah 55% Agro Business, 30 % Industri dan 15 % Service.

Apa itu masih berlaku, tanda tanya bergema dalam kepala.

Tanpa Roadmap bagaimana mungkin ada jawaban kearah mana kita akan pergi. Yang muncul cuma kesimpulan :"malu bertanya, sesat dijalan".

Mungkin supaya tidak keliru investasi, perlu wahana navigasi yg bisa membimbing semua yg berminat jadi usahawan Agro Industry dan Agro Bisnis. Mirip seperti punya Google Map.

Sudah saatnya setiap Wilayah pertumbuhan ekonomi ada Roadmap, peta jalan mana yang jadi kawasan Perkebunan aneka tanaman, mana Pertanian, Mana yang kawasan perkebunan sawit.

Mungkin ini yg disebut oleh Presiden Jokowi dgn istilah manajemen tataruang One Map. Satu peta induk.

Agar tidak semua lahan ditanami sawit.Monokultur.

Sebab menurut teori "life sciences", tanaman monokultur atau hanya satu jenis tanaman sawit akan merusak ecosystem. Air sukar diperoleh, binatang dan variasi genetica juga mulai punah.

Ambil contoh seperti ketika kita berjalan dari lubuk pakam hingga Besitang dan Pulau Tiga di Sumatera Utara Aceh, semua sawit. Rambutan binjai sudah tak punya tempat.

Padahal dimasa lalu kekayaan biodiversity kita luar biasa tinggi. Saya dan Pak Bambang Kesowo pernah berkunjung ke Brazil untuk mendengar pengalaman bagaimana hutan amazon dijaga kelestarian nya agar kekayaan bio diversity terpelihara.

Di Inggris pohon besi kalimantan di pelajari tingkat pertumbuhan lingkar kambiumnya. Untuk di rekayasa agar dapat produktip dalam usia 10 tahunan tidak perlu 30 tahunan.

Andaikata di Indonesia Ada Bank Benih untuk menyimpan kekayaan biodiversity Indonesia alangkah indahnya. Infrastruktur industri pertanian kita memerlukan perhatian untuk direvitalisasi.

Dalam Roadmap to Economic Growth 7% mungkin kekuatan industri pertanian bisa jadi tulang punggung?

Salam



No comments:

Post a Comment